Sabtu, 13 Juni 2009

MENYAMAR MALAM

MENYAMAR MALAM

: Amal Bayu Ramdhana

Aku sudah terlalu bosan mengurus senja tua,
senja yang berwarna merah berbeda:
senja merah yang berdarah

dalam malam yang menyamar,
masihkah kita berperan?
mengelus igau dengan asing masing-masing

yang angin subuhmu mengulum malamjatuh ku
mengajarkan isyarat bahasa di cadas gelisah
dari kuku-kuku hitammu yang kerasukan bulan:
bulan tanpa nyala
melambangkan kau selalu menggali kopi hitam di tengah malam:
malam yang bau tembaga

Tibanya aku:
kau gilir, kau sihir, kau sisir.

Bagaimana kau dapat menuliskan
*seekor badak bermata musang berparuh merpati?

Dan kau selalu mempertanyakan magenta,
entah berwarna apa.



Jakarta, 06 Juni 2009
Angga. Wijaya


* Dari potongan sajak Amal Bayu Rhamdana berjudul BELAJAR MENULIS NOVEL CINTA-bersama Ne

SERIT KAYU

SERIT KAYU

Sudah lampau pisah pulau atas rantau
di seberang selat aku ingat suatu tempat
teringat rumah masihkah megah oleh kayu-kayu yang disangga
Ranah pada tanah yang terbelah di antara lembah

Di atas batu kau menunggu
Di jendela rumah panggung kau termanggu

Bertahun-tahun aku merindu
Musang kopi, Batu kali, Kue sagu, Pantun Melayu, Serit kayu
sampai kau hanya meninggalkan aku dengan makam mu
selama kau menjejak sembilu di atas kepergiaanku


sempat kau berucap saat aku kembali di ujung serat

" Aku tak punya air dirumah ini,
lantas tak dapat menyuguhkan dahaga mu jadi rindu
tahanlah lapar mu yang ku jamu
aku tak bisa menghidangkan apa yang kau mau saat bertamu

(kenapa kau tinggalkan aku, kenapa kau hanya bertamu)

di situ, bukan di sini kau pantas bertamu
di situ, bukan di sini yang hanya dapat menjamu mu dengan bisu "


Aku membalas mengucap dengan terbata mengecap

" Apakah kau ragu aku melukis rupamu di atas cermin berbingkai perunggu
sebelum sempat aku terbangun dari perkawinan angan yang ku ramu,
Apakah kau tahu aku dapat memahat patung batu berwujud kepalamu
sebelum aku tertidur di teluk mimpiku, tepat di ujung karang batu
kau kutuk aku jadi batu "

namun kau hanya menjawab tanpa isyarat

" Di atas serit kayu
aku memangku mu
menyisir rambut mu jadi batu"



2009

KUBUR BATU

KUBUR BATU


Aku menulis kematian Ayahmu

Aku melihat kau di kubur batu itu,
Kubur batu di seberang depan rumahmu

yang ayahmu sesapkan di liang lahat yang hangat

Kau meratapinya,
menggali lagi makamnya dengan ngilu,
dengan sepuluh kuku

(garuk kulit kubur
keruk terus sampai lebur)

Kau koyak tanah dan bumi
seperti Kau akan menghidupkannya kembali
seperti Kau akan meniupkan Ruhnya lagi

sakit dalam badan
jadi makam penziarah yang terdalam
yang Ayahmu diradang pada tubuh lunak tak bergerak
atas tenung yang dikandungnya
yang diregang teluh nyawanya

entah ambang
entah limbang

di kubur batu itu,
kau lafazkan
semacam doa
semacam moksa

(sudahlah)
tadahlah abu Ayahmu itu
buanglah ke perut laut
sampai dibawa hanyut
(dalam kebakaan)

agar menawarkan rindu asinnya air laut,
air maut.


Mei 2009

Kamis, 11 Juni 2009

MERAH MARET


MERAH MARET

/1/

14 Maret
kota tua
Maret menjadi merah oleh sebuah janji. Kita selipkan sebuah nama ganda kita dibalik jendela merah yang tua, dan akan semakin menua di tahun-tahun mendatang. 
Persetujuan antara dua pihak.
Waktu tak peduli apa kata yang terucap, terbuang, terlontar dari suara yang tak samar, dari suara yang tak sekedar, dari pernyataan yang harus ditepati.
Kian bergulir hilang kesebuah entah, jarak menjadi garis yang tertulis, di situ ada janji, janji yang terselip nama bahwa ada pertemuan di kota tua itu.


/2/

September
Takdir benar menguji perkataan kita, tak sekedar asal lontar, dua, tiga, lima, sepuluhpun apa benar kita tahu? apa benar kita akan tepat?
Aku, kau. Pergi hingga berjarak, tak ada isyarat, tak ada sebilah katapun terucap, tak ada pertemuan lagi selain janji itu, itu pun jika kita ingat dan datang, jika kita menepatinya.
Tahu kah kau
“Ada yang menambat memar disebuah hati ku, yaitu janji. Tahu apa kau tentang janji!”



/3/

Dalam tahun-tahun mendatang
“anomaly, semalam aku memimpikanmu, aku membelai rambutmu, kau berasumsi lagi tentang janji”

aku dalam anomaly mimpi dari janji kita, kita berdiskusi tentang itu, aku membelai rambutmu, menariknya dari akar kepalamu dengan kasar. Membisikanmu sekali lagi “tahu apa kau tentang janji! Janji yang kita buat!” lalu kau berasumsi lagi tentang janji.



/4/

" Ini tahun terakhir tentang janji, nanti ditanggal kelahiranmu, di bulan kelahiran kata kita, akankah kita bersua? "

Janji mulai menggerogoti hari, bulan demi bulan, sampai ia menelan kita, memakan isi perut kita, menagih memori di otak kita yang semakin samar oleh bayang kenangan. “ingat kah kita pernah berkata, kita tak peduli dengan masa, dengan apa yang akan terjadi nanti, yang kita tahu hanya janji”

Waktu semakin menuntun kita ke kota itu, memberi arah jalan “tinggal berapa hari atau bulan lagi”. Itu membuat aku semakin terkurung seperti di dalam jam pasir, yang pelan-pelan menghisapku, “aku tak peduli apa kau memikirkanya! Atau apa memang kau tak peduli memikirkanya! Ah sudahlah aku hanya setia pada janji,bukan kepadamu!”



/5/

Maret 2009,

“maret datang seperti pulang, membawa kepertemuan di kota tua, janji bukan asal serapah, aku datang membawa darah!”

Aku datang menaiki kereta, di atas rel berkarat, orang-orang sesak di gerbong. Kacanya yang pecah, lantai banyak sampah, sumpah serapah orang yang marah. “kemana mereka akan pergi? Kemana angin akan membawanya bersama janji? Utara atau selatan?”
Aku jelajahi gedung-gedung tua, bau gudang bekas kolonial. Yang dagingnya terkelupas masa. Yang dindingnya bobrok semakin menua, hawa-hawa lampau semilir menyihir, menggores bola mataku berair.
Aku lewati sepanjang kali mati, yang dulunya tempat pembuangan mayat. Aku mencari potongan tubuhmu, setidaknya mungkin bayang. Aku gali memori, aku keruk otak ku berusaha menemukanmu, aku tanya pada waktu “apakah kau melihat seseorang datang membawa janji disini?” namun tahu kah kau waktu memukul aku dengan tanya, membalikan tanya, “ Janji? Seperti apakah bentuknya?”.

“ di mana janji yang kau janjikan? Aku sudah datang memakai baju hitam, seperti ritual kematian, namun kau tak datang bersama kenangan”

Tak sehelai rambutmu yang bau amis aku cium dikota tua ini, aku sudah berlari ke pelosok bawah menara, di bawah jendela, sampai tececer darah yang aku bawakan untukmu, agar kau dapat meminumnya dengan hati yang lega, agar aku dapat tenang terjaga, sampai terobek baju hitam yang aku kenakan, sampai wajahku bertaburan, isi otak ku atas kenangan.
Namun tak ada rupa dari sebagian baju hitam yang sepasang, kota ini pun semakin tenggelam, malam akan menelannya dengan mentah-mentah, aku pun akan pulang dengan pasrah. Membawa pulang batu, dikepal, lalu aku akan merebusnya dengan kenangan yang bekas, yang terkelupas, yang tak terbalas.
Aku pergi aku pulang kerumah, dengan melihat jendela merah itu dari belakang yang aku punggungi, aku terus berjalan. Jendela merah itu menangis sesugukan, mengeluarkan nanah, lalu seketika tertawa terbahak-bahak, dengan terus melihat jendela merah itu dari belakang, ia terus tertawa tak berarah, sambil menunjuk kearahku seperti mengejar, samar-samar aku mendengar dia berucap “ Tak ada janji yang terucap dibawah jendela ini, dikota ini, mungkin kau hanya bermimpi.
Ternyata janji menempatkan kita di tempat yang berbeda, kau pun lupa tanggal, saat janji kita akan dipenggal.
Tapi aku cukup puas dengan aku tiba tepat waktu, pulang membawa batu, walau sampai kini aku tidak mengerti arti sumpah, datang membawa darah.
Tahu apa aku tentang janji, tahu apa kau tentang janji, tahu apa kita tentang janji.
Aku hanya ingin berisyarat, menguak, meneguhkan sebuah perkataan yang seharusnya terucap.

" Aku hanya ingin janji dari separuh organ tubuhmu, hanya itu. "




Angga. Wijaya
2008-2009